gravatar

Pertanian Organik

Indonesia sejak lama sudah akrab dengan pertanian organik. Bedanya, kalau di waktu lampau polanya masih secara tradisional. Pengolahan lahan nyaris tanpa pupuk. Peningkatan produksi sawah atau kebun sangat mengandalkan kandungan humus lahan. Belakangan-setelah menyaksikan berbagai dampak negatif akibat penggunaan pupuk kimia menyusul operasi hijau sejak tahun 1980-an-para petani didorong agar mengolah lahan dengan pola pertanian organik, yakni menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang ramah lingkungan sekaligus menjaga kesuburan lahan. Seiring operasi hijau tersebut, para petani diarahkan agar menanami sawahnya dengan benih padi varietas tertentu. Diarahkan pula penggunaan pupuk kimia, seperti urea, TSP, dan KCl guna memperkaya humus lahan serta penggunaan pestisida endrin untuk menghalau hama wereng, misalnya.

Ternyata dalam perjalanannya semakin terasa dampaknya yang merugikan. Produksi memang meningkat. Namun, sesungguhnya tidak memberikan keuntungan berarti bagi para petani. Alasannya karena biaya produksi menjadi sangat mahal untuk pembelian berbagai jenis pupuk dan pestisida endrin.

Masih banyak lagi dampak negatif lainnya akibat penggunaan pupuk kimia. Pupuk kimia telah mengganggu keseimbangan ekologi.
Penggunaan pestisida endrin secara masif yang sedianya menghalau serangan hama wereng, ternyata juga mematikan berbagai jenis biota air. Bahkan, hewan piaraan pun tidak sedikit menjadi korbannya setelah meminum air yang sudah tercemar racun pestisida.

Dengan pola pertanian organik, biaya proses pengolahan lahan dan perawatan tanaman relatif kecil, lebih banyak mengandalkan tenaga kerja dan keseimbangan lingkungan menjadi lebih terjaga.

Pertanian organik sebagai pola pertanian yang mencoba untuk selaras dengan kaidah dan hukum alam menunjukkan perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu.. Perkembangan ini diakibatkan oleh beberapa faktor, khususnya peningkatan kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan di samping adanya alasan yang lain, yang lebih bersifat ideologis dan spiritual

Di seluruh dunia, orang menjadi semakin waspada terhadap munculnya berbagai jenis penyakit baru yang mematikan. Ditambah lagi dengan merebaknya pemberitaan dari berbagai belahan dunia mengenai bahaya mengonsumsi bahan makanan yang mengandung pestisida dan bahan-bahan kimia lain hasil serapan tanaman dari pemupukan dengan pupuk kimia.

Sementara itu, jika ditinjau dari aspek konservasi lingkungan, pelaku pertanian organik (petani, konsumen, LSM, pendamping, dan sebagainya) meyakini bahwa pertanian organik yang meniadakan asupan kimiawi memberikan kontribusi bagi keseimbangan ekosistem, khususnya air dan tanah.

Tidak pelak lagi, dengan berbagai alasan dan ideologi di belakangnya, pertanian organik semakin hari menunjukkan perkembangan yang pesat. Untuk mengetahui perkembangan itu, pada tahun 2003, Stiftung Oekologie and Landbau/Foundation Ecology and Agriculture melakukan riset untuk mengetahui prospek dan gambaran umum mengenai pertanian organik di seluruh dunia.

Riset tersebut menyatakan bahwa di tahun 2003 saja terdapat 23 juta hektar lahan pertanian organik di seluruh dunia. Adapun lahan pertanian organik terluas berada di Australia (10,5 juta ha), Argentina (3,2 juta ha), dan Italia (1,2 juta ha).
Sementara di wilayah Asia, negara dengan lahan pertanian organik terluas adalah India dan China. Bagaimana dengan Indonesia, yang notabene penduduknya sebagian besar mengandalkan produk-produk pertanian, serta mempergunakan sebagian besar lahannya untuk ditanami berbagai tanaman pertanian dan perkebunan. Akankah masih menggunakan pemupukan kimia, yang akan sangat berdampak jelek terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk pertanian kimiawi.

Belum lagi persaingan pasar yang semakin hari semakin menggandrungi produk pertanian organik dengan tingkat pertumbuhan antara 5-20 persen per tahun. Adapun yang menjadi pasar terbesar untuk produk pertanian organik adalah Eropa, AS, Kanada, dan Jepang. Sementara itu, International Federation for Organic Agriculture Movement-sebuah organisasi internasional yang menjadi payung gerakan organik seluruh dunia-memprediksi bahwa pertumbuhan pasar organik berada di kisaran 20-30 persen setiap tahun. Selain pasar utama (mainstream market), peningkatan jumlah perdagangan produk organik juga dialami oleh pasar alternatif yang lebih populer dengan sebutan fair trade.

Perdagangan yang adil atau fair trade adalah sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada keterbukaan, penghormatan terhadap hak petani dan produsen kecil juga berkontribusi terhadap konservasi lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi dalam pembuatan sebuah produk (khususnya kerajinan).
Dalam praktiknya, fair trade diterjemahkan menjadi: rantai distribusi yang lebih pendek, pemberian harga premium kepada petani/produsen kecil di mana harga dihitung bukan saja didasarkan pada biaya produksi, tetapi juga biaya lain, seperti asuransi gagal panen, biaya penguatan dan pengembangan kelompok tani dan produsen, juga terjalinnya hubungan yang personal antara produsen dan konsumen melalui pertemuan rutin antara produsen-konsumen.

Di pasar fair trade, selain produk kerajinan tangan, juga terdapat tujuh produk organik yang diperjualbelikan, yaitu pisang, kakao, kopi, madu, gula, teh, dan juice buah (mangga dan jeruk). Untuk memperbesar pasar sekaligus memenuhi permintaan konsumen fair trade akan adanya diversifikasi produk, sejak beberapa tahun terakhir, Fair Trade Labelling Organization (FLO)- sebuah lembaga sertifikasi fair trade internasional yang berkantor pusat di Bonn- mengembangkan proses sertifikasi fair trade untuk beberapa produk, seperti buah segar (mangga, jeruk, nanas, dan apel), makanan ringan dan biskuit, selai, mawar, anggur, dan beras.
Kecenderungan atau trend permintaan produk organik yang tidak hanya dialami oleh negara-negara maju yang terletak di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, maupun Jepang, tetapi juga Indonesia walaupun belum diperoleh data pasti mengenai jumlah perdagangan produk organik.

Untuk memperoleh manfaat dari arus perdagangan organik, baik dalam pasar mainstream maupun pasar alternatif/fair trade, dibutuhkan beberapa upaya untuk:
• Membangun kesadaran akan pentingnya pertanian organik, misalnya melalui kebijakan "Go Organic 2010" yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia, riset dan diseminasi wacana di berbagai media massa, pendampingan petani oleh lembaga swadaya, dan lain-lain;
• Meningkatkan kapasitas pada semua lini produksi maupun pascapanen. Hal ini penting karena pasar merupakan satu entitas dengan requirement/persyaratan dan kompleksitas tertentu yang memerlukan kesiapan setiap pelaku pasar, termasuk petani.
• Sementara pada sisi yang lain, mayoritas petani Indonesia adalah petani miskin yang memiliki luasan lahan kurang dari 0,25 ha dan memiliki keterbatasan akses terhadap teknologi, informasi, dan jaringan kerja.
• Ditambah dengan fakta bahwa petani termasuk dalam kelompok masyarakat marginal yang rentan dengan eksploitasi, maka pemberdayaan dan penghargaan atas kerja keras yang dilakukan petani merupakan sebuah tindakan yang mendesak untuk dilakukan;
• Penguatan dan pengembangan jaringan kerja karena ini adalah sebuah kerja besar yang memerlukan kerja sama yang solid antarberbagai pihak, baik petani selaku produsen yang terlibat langsung dalam proses produksi, akademisi, Pemerintah Indonesia, media, lembaga swadaya masyarakat, juga lembaga internasional, seperti IFOAM, FLO, dan lain sebagainya yang terlibat aktif dalam mengampanyekan gerakan pertanian organik di level internasional.

di ambil dari berbagai sumber