Archives

gravatar

Penanganan Limbah

Pendahuluan
Limbah sebagai sisa-sisa produksi yang tidak terpakai keberadaannya saat ini masih menjadi biang permasalahan. Berbagai macam bentuk limbah yang dihasilkan baik berupa cair, padat, maupun gas belum ditangani secara baik sehingga limbah yang seharusnya didaur ulang telah menjadi sumber pencemaran. Limbah tidak hanya dihasilkan dari dunia industri saja melainkan juga dari sektor pertanian.
Pesatnya pembangunan pertanian dalam rangka pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berkesinambungan ini telah mendorong pertumbuhan sektor pertanian tetap terjadi peningkatan. Begitu pula halnya yang terjadi pada subsektor peternakan, meskipun saat ini Indonesia tengah menghadapi krisis, peternakan Indonesia masih tetap eksis bahkan menunjukkan peningkatan.
Peningkatan produksi yang didorong untuk memenuhi permintaan dalam maupun luar negeri memang memberikan keuntungan dan sangat diharapkan. Namun disisi lain, peningkatan produksi ternak secara tidak langsung tersebut juga menimbulkan ekses (dampak) negatif. Diantaranya adalah limbah yang dihasilkan dari ternak itu sendiri. Disadari atau tidak, limbah peternakan ini selain mengganggu lingkungan sekitar, juga dapat menimbulkan bibit penyakit bagi manusia.
Saat ini masyarakat masih kurang menyadari akan pentingnya upaya pengelolaan limbah peternakan yang dihasilkan sehingga terkesan tidak mau tahu. Kalaupun ada pihak yang berupaya menanganinya akan menjadi kurang efektif karena tidak mendapat dukungan dari pihak lain. Melihat kenyataan seperti itu timbullah suatu pertanyaan, bagaimana caranya mengelola limbah ternak agar selain tidak merusak lingkungan juga dapat memberikan keuntungan bagi sektor lain.
Limbah peternakan yang dihasilkan ada yang berupa kotoran (pupuk kandang) ada pula yang berupa sisa-sisa makanan. Setiap usaha peternakan baik itu berupa sapi, ayam, kambing, kuda, maupun babi akan menghasilkan kotoran. Namun jangan salah, kotoran yang dihasilkan ternak tersebut ternyata memiliki kandungan unsur hara yang tinggi sehingga tidak salah bila para petani menggunakannya sebagai pupuk dasar.
Kotoran yang dihasilkan ternak itu ada dua macam yaitu pupuk kandang segar dan pupuk kandang yang telah membusuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran yang dikeluarkan hewan ternak sebagai sisa proses makanan yang disertai urine dan sisa-sisa makanan lainnya. Sedangkan pupuk kandang yang telah membusuk adalah pupuk kandang yang telah disimpan lama sehingga telah mengalami proses pembusukan atau penguraian oleh jasad renik (mikroorganisme) yang ada dalam permukaan tanah.
Seperti yang telah disinggung di atas, kotoran hewan memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi dan sangat lengkap. Dengan keunggulan tersebut maka manfaat dari penggunaan kotoran hewan ini antara lain:
1. Menambah zat atau unsur hara dalam tanah. Tanah yang miskin atau pun kurang subur memiliki kandungan unsur hara yang kurang mencukupi bagi pertumbuhan, sehingga pemberian pupuk terutama pupuk yang bersifat organik secara langsung akan mampu menambah unsur hara yang kurang memadai tersebut serta memberikan tambahan unsur hara baru yang belum ada.
2. Mempertinggi kandungan humus di dalam tanah. Humus sebagai hasil substansi yang berasal dari bahan organik seperti protein, lemak dan sisa-sisa tanaman yang telah mengalami proses penguraian sangat penting artinya bagi tanaman. Hal ini disebabkan humus bersifat koloid (bermuatan negatif) yang dapat meningkatkan absorpsi (penyerapan) dan pertukaran kation serta mencegah terlepasnya ion-ion penting. Selain itu humus juga berfungsi sebagai reservoar (pergantian) mineral untuk pengambilan oleh tumbuhan. Adanya pupuk kandang yang hampir sebagian besar berupa bahan organik akan dapat menambah kandungan humus yang ada. Semakin banyak humus terdapat pada tanah, maka tanah relatif semakin subur.
3. Mampu memperbaiki struktur tanah. Pada ABDI TANI edisi lalu telah disinggung bahwa struktur tanah yang baik ditunjang oleh keberadaan mikroorganisme organik yang cukup. Tanah yang strukturnya sudah rusak hampir tidak memiliki lagi mikroorganisme yang menunjang kesuburan tanah. Dengan memberikan pupuk kandang maka akan mengaktifkan kembali mikroorganisme yang ada melalui proses biologis dan kimia.
Peternakan ayam yang diusahakan dalam skala menengah maupun besar menghasilkan efek berupa limbah kotoran yang selain mencemari lingkungan juga menyebarkan bibit penyakit.
Mendorong atau memacu aktivitas kehidupan jasad renik di dalam tanah. Terkait dengan manfaat sebelumnya, pemberian pupuk kandang ini secara langsung akan menambah bahan organik yang ada. Ada ataupun tidaknya suatu jasad renik didalam, pemberian pukan ini justru akan mendorong atau memacu kehidupan jasad renik, yang pada akhirnya melalui proses penguraian akan menghasilkan tanah yang subur dan kaya akan bahan organik.

Kandungan Unsur Hara Tinggi dan lengkap
Pupuk kandang sebagai limbah ternak banyak mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O). Meskipun jumlahnya tidak banyak, dalam limbah ini juga terkandung unsur hara mikro diantaranya Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron (Bo). Banyaknya kandungan unsur makro pada pupuk kandang membuat penggunaannya hanya dilakukan pada saat pemupukan dasar saja. Hal ini erat kaitannya dengan jumlah unsur makro yang dibutuhkan tanaman yang tidak boleh melebihi rasio C/N =12. Sehingga pupuk kandang yang memiliki rasio C/N tinggi yaitu + 25 kurang baik bila digunakan untuk menyuburkan tanaman secara langsung.
Berdasarkan jenis hewannya, pupuk kandang terbagi kedalam lima macam yaitu limbah kambing, limbah sapi, limbah ayam, limbah babi dan limbah kuda. Masing-masing limbah tersebut memiliki karakteristik dan kandungan unsur hara yang berbeda (Tabel 1). Pada limbah sapi misalnya kandungan unsur haranya berbeda antara limbah cair maupun yang padat. Pada limbah sapi yang cair memiliki kandungan P lebih banyak dibandingkan yang padat. Dan sebaliknya kandungan K pada limbah sapi padat lebih banyak dibandingkan yang cair. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa limbah (kotoran ayam) memiliki kandungan N dan P paling besar diantara limbah ternak lainnya. Sedangkan kandungan K paling besar terdapat pada limbah domba cair yaitu sebesar 2.1 %. Suatu limbah dapat digolongkan ke dalam pupuk panas bila memiliki kandungan air yang rendah. Kandungan yang rendah tersebut berimplikasi pada proses perubahan jasad renik secara aktif menjadi lebih cepat, sehingga waktu yang diperlukan jasad renik untuk dekomposisi (penguraian) pupuk ini lebih cepat.

Aplikasi
Hampir semua cara kerja limbah ternak ini berjalan cukup lambat dan membutuhkan waktu lama karena berkaitan dengan perubahan dekomposisi atau penguraian oleh jasad-jasad sebelum siap digunakan oleh tanaman. Pemberian pupuk kandang yang berbentuk cair dengan padat berbeda. Untuk pupuk padat yang dingin misalnya dapat diaplikasikan pada tanah maupun tanaman sekitar 3 – 4 minggu setelah masa pembuatan. Sedangkan pupuk padat yang panas dapat digunakan lebih cepat yaitu sekitar 1 – 2 minggu dari masa pembuatannya. Khusus limbah ternak cair berupa urine juga dapat dimanfaatkan sebagai perangsang perkembangan tanaman karena mengandung hormon. Limbah ini sebaiknya diberikan menjelang waktu tanam dengan mengencerkannya terlebih dahulu.
Penyimpanan limbah yang baik mutlak diperlukan agar gas amoniak yang terkandung tidak banyak mengalami penguapan. Untuk mencegah penguapan tersebut maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu (1) menumpuk sedemikian rupa supaya rongga udara semakin kecil, (2) mengatur penempatan pupuk kandang dengan memperkecil ruang bagi gas amoniak untuk menguap di udara, (3) membasahi tumpukan pupuk kandang dengan air sampai lembab dan (4) mengusahakan agar tempat penyimpanan pupuk yang bentuk padat terpisah dengan pupuk cair.

Dari berbagai sumber

gravatar

Pemanfaatan Pupuk Organik

PERTANIAN organik sebagai pola pertanian yang mencoba untuk selaras dengan kaidah dan hukum alam menunjukkan perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu.. Perkembangan ini diakibatkan oleh beberapa faktor, khususnya peningkatan kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan di samping adanya alasan yang lain, yang lebih bersifat ideologis dan spiritual

Di seluruh dunia, orang menjadi semakin waspada terhadap munculnya berbagai jenis penyakit baru yang mematikan. Ditambah lagi dengan merebaknya pemberitaan dari berbagai belahan dunia mengenai bahaya mengonsumsi bahan makanan yang mengandung pestisida dan bahan-bahan kimia lain hasil serapan tanaman dari pemupukan dengan pupuk kimia.

Sementara itu, jika ditinjau dari aspek konservasi lingkungan, pelaku pertanian organik (petani, konsumen, LSM, pendamping, dan sebagainya) meyakini bahwa pertanian organik yang meniadakan asupan kimiawi memberikan kontribusi bagi keseimbangan ekosistem, khususnya air dan tanah.

Tidak pelak lagi, dengan berbagai alasan dan ideologi di belakangnya, pertanian organik semakin hari menunjukkan perkembangan yang pesat. Untuk mengetahui perkembangan itu, pada tahun 2003, Stiftung Oekologie and Landbau/Foundation Ecology and Agriculture melakukan riset untuk mengetahui prospek dan gambaran umum mengenai pertanian organik di seluruh dunia.

Riset tersebut menyatakan bahwa di tahun 2003 saja terdapat 23 juta hektar lahan pertanian organik di seluruh dunia. Adapun lahan pertanian organik terluas berada di Australia (10,5 juta ha), Argentina (3,2 juta ha), dan Italia (1,2 juta ha).

Sementara di wilayah Asia, negara dengan lahan pertanian organik terluas adalah India dan China. Bagaimana dengan Indonesia, yang notabene penduduknya sebagian besar mengandalkan produk-produk pertanian, serta mempergunakan sebagian besar lahannya untuk ditanami berbagai tanaman pertanian dan perkebunan. Akankah masih menggunakan pemupukan kimia, yang akan sangat berdampak jelek terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk pertanian kimiawi.

Belum lagi persaingan pasar yang semakin hari semakin menggandrungi produk pertanian organik dengan tingkat pertumbuhan antara 5-20 persen per tahun. Adapun yang menjadi pasar terbesar untuk produk pertanian organik adalah Eropa, AS, Kanada, dan Jepang. Sementara itu, International Federation for Organic Agriculture Movement-sebuah organisasi internasional yang menjadi payung gerakan organik seluruh dunia-memprediksi bahwa pertumbuhan pasar organik berada di kisaran 20-30 persen setiap tahun. Selain pasar utama (mainstream market), peningkatan jumlah perdagangan produk organik juga dialami oleh pasar alternatif yang lebih populer dengan sebutan fair trade.

Perdagangan yang adil atau fair trade adalah sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada keterbukaan, penghormatan terhadap hak petani dan produsen kecil juga berkontribusi terhadap konservasi lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi dalam pembuatan sebuah produk (khususnya kerajinan).

Dalam praktiknya, fair trade diterjemahkan menjadi: rantai distribusi yang lebih pendek, pemberian harga premium kepada petani/produsen kecil di mana harga dihitung bukan saja didasarkan pada biaya produksi, tetapi juga biaya lain, seperti asuransi gagal panen, biaya penguatan dan pengembangan kelompok tani dan produsen, juga terjalinnya hubungan yang personal antara produsen dan konsumen melalui pertemuan rutin antara produsen-konsumen.

Di pasar fair trade, selain produk kerajinan tangan, juga terdapat tujuh produk organik yang diperjualbelikan, yaitu pisang, kakao, kopi, madu, gula, teh, dan juice buah (mangga dan jeruk). Untuk memperbesar pasar sekaligus memenuhi permintaan konsumen fair trade akan adanya diversifikasi produk, sejak beberapa tahun terakhir, Fair Trade Labelling Organization (FLO)- sebuah lembaga sertifikasi fair trade internasional yang berkantor pusat di Bonn- mengembangkan proses sertifikasi fair trade untuk beberapa produk, seperti buah segar (mangga, jeruk, nanas, dan apel), makanan ringan dan biskuit, selai, mawar, anggur, dan beras.

Kecenderungan/tren permintaan produk organik yang tidak hanya dialami oleh negara-negara maju yang terletak di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, maupun Jepang, tetapi juga Indonesia walaupun belum diperoleh data pasti mengenai jumlah perdagangan produk organik.

Untuk memperoleh manfaat dari arus perdagangan organik, baik dalam pasar mainstream maupun pasar alternatif/fair trade, dibutuhkan beberapa upaya untuk:

· Membangun kesadaran akan pentingnya pertanian organik, misalnya melalui kebijakan "Go Organic 2010" yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia, riset dan diseminasi wacana di berbagai media massa, pendampingan petani oleh lembaga swadaya, dan lain-lain;

· Meningkatkan kapasitas pada semua lini produksi maupun pascapanen. Hal ini penting karena pasar merupakan satu entitas dengan requirement/persyaratan dan kompleksitas tertentu yang memerlukan kesiapan setiap pelaku pasar, termasuk petani.

· Sementara pada sisi yang lain, mayoritas petani Indonesia adalah petani miskin yang memiliki luasan lahan kurang dari 0,25 ha dan memiliki keterbatasan akses terhadap teknologi, informasi, dan jaringan kerja.

· Ditambah dengan fakta bahwa petani termasuk dalam kelompok masyarakat marginal yang rentan dengan eksploitasi, maka pemberdayaan dan penghargaan atas kerja keras yang dilakukan petani merupakan sebuah tindakan yang mendesak untuk dilakukan;

· Penguatan dan pengembangan jaringan kerja karena ini adalah sebuah kerja besar yang memerlukan kerja sama yang solid antarberbagai pihak, baik petani selaku produsen yang terlibat langsung dalam proses produksi, akademisi, Pemerintah Indonesia, media, lembaga swadaya masyarakat, juga lembaga internasional, seperti IFOAM, FLO, dan lain sebagainya yang terlibat aktif dalam mengampanyekan gerakan pertanian organik di level internasional.

gravatar

Pertanian Organik

Keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, dan lain-lain, yang disebabkan pola makan. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Disamping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen. Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia berlebih.

Pada saat ini satu dari empat orang Amerika mengkonsumsi produk organik. Di negara itu, laju pertumbuhan produk organik sangat luar biasa, yakni lebih dari 20 % setiap tahunnya dalam sepuluh tahun terakhir ini, dan hal tersebut membuat pertanian organik tumbuh sangat cepat dalam mengisi sektor ekonomi (Wood, Chaves dan Comis, 2002).

Dalam era globalisasi, pasar sayuran organik sangat terbuka dan saat ini Australia telah mengambil peluang ini dengan mengekspor sayuran organik ke pasar Amerika, beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan Perancis, Jepang, juga ke beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singpura (McCoy, 2001). Keadaan ini juga dicermati negara Asia seperti Thailand yang sejak tahun 1995 telah mengeluarkan standarisasi dan sertifikasi tentang produk organik (ACT, 2001). Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Disamping memiliki 20% lahan pertanian tropic, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organic Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha. (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka Indonesia yang beriklim tropis.

Merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun. Survey BPS (2000) menunjukkan produksi sayuran di Indonesia, diantaranya bawang merah, kubis, sawi, wortel dan kentang berturut-turut 772.818, 1.336.410, 484.615, 326.693 dan 977.349 ton pada total area seluas 291.192 Ha. Selanjutnya survey yang dilakukan oleh Direktorat Tanaman Sayuran, Hias dan Aneka Tanaman menunjukkan bahwa kebutuhan berbagai sayuran di 8 pasar swalayan di Jakarta sekitar 766 ton per bulan, dimana sekitar 5 % adalah sayuran impor.

Sejak tahun 1990, isu pertanian organik mulai berhembus keras di dunia. Sejak saat itu mulai bermunculan berbagai organisasi dan perusahaan yang memproduksi produk organik. Di Indonesia dideklarasikan Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) pada tgl 1 Februari 2000 di Malang. Di Indonesia telah beredar produk pertanian organik dari produksi lokal seperti beras organik, kopi organik, teh organik dan beberapa produk lainnya. Demikian juga ada produk sayuran bebas pestisida seperti yang diproduksi oleh Kebun Percobaan Cangar FP Unibraw Malang. Walaupun demikian, produk organik yang beredar di pasar Indonesia sangat terbatas baik jumlah maupun ragamnya. Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik zat tumbuh, maupun pestisida dan terutama pupuk.

Sistem Pertanian Organik adalah sistem produksi holistic dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan.

Sebenarnya, petani kita di masa lampau sudah menerapkan sistem pertanian organik dengan cara melakukan daur ulang limbah organik sisa hasil panen sebagai pupuk. Namun dengan diterapkannya kebijakan sistem pertanian kimiawi yang berkembang pesat sejak dicanangkannya Gerakan Revolusi Hijau pada tahu 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, walaupun untuk sementara waktu dapat meningkatkan produksi pertanian, pada kenyataannya dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, yang akhirnya bermuara kepada semakin luasnya lahan kritis dan marginal di Indonesia. Sistem pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama diterapkan di beberapa negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Amerika Serikat (Koshino, 1993).

Pengembangan pertanian organik di beberapa negara tersebut mengalami kemajuan yang pesat disebabkan oleh kenyataan bahwa hasil pertanian terutama sayur dan buah segar yang ditanam dengan pertanian sistem organik (organic farming system) mempunyai rasa, warna, aroma dan tekstur yang lebih baik daripada yang menggunakan pertanian anorganik (Park 1993 dalam Prihandarini, 1997). Selama ini limbah organik yang berupa sisa tanaman (jerami, tebon, dan sisa hasil panen lainnya) tidak dikembalikan lagi ke lahan tetapi dianjurkan untuk dibakar (agar praktis) sehingga terjadi pemangkasan siklus hara dalam ekosistem pertanian. Bahan sisa hasil panen ataupun limbah organik lainnya harus dimanfaatkan atau dikembalikan lagi ke lahan pertanian agar lahan pertanian kita dapat lestari berproduksi sehingga sistem pertanian berkelanjutan dapat terwujud.

Teknik Budidaya merupakan bagian dari kegiatan agribisnis harus berorientasi pada permintaan pasar. Paradigma agribisnis : bukan Bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan, tapi Bagaimana menghasilkan produk yang dapat dipasarkan. Terkait dengan itu, teknik budidaya harus mempunyai daya saing dan teknologi yang unggul. Usaha budidaya organik tidak bisa dikelola asal-asalan, tetapi harus secara profesional. Teknik budidaya organik merupakan teknik budidaya yang aman, lestari dan mensejahterakan petani dan konsumen.

Oleh karena itu perlu upaya perbaikan agar penggunaan pupuk dapat dilakukan seefisien mungkin dan ramah lingkungan. Adanya kejenuhan produksi akibat penggunaan pupuk kimia apalagi yang melebihi dosis, selain menimbulkan pemborosan juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif terutama pencemaran air tanah dan lingkungan, khususnya yang menyangkut unsur pupuk yang mudah larut seperti nitrogen (N) dan kalium (K). Selain itu, pemberian nitrogen berlebih disamping menurunkan efisiensi pupuk lainnya, juga dapat memberikan dampak negatif, diantaranya meningkatkan gangguan hama dan penyakit akibat nutrisi yang tidak seimbang. Oleh karena itu, perlu upaya perbaikan guna mengatasi masalah tersebut, sehingga kaidah penggunaan sumber daya secara efisien dan aman lingkungan dapat diterapkan.

Upaya peningkatan efisiensi telah mendapat dukungan kuat dari kelompok peneliti bioteknologi berkat keberhasilannya menemukan pupuk organik yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia. Pengembangan industri pupuk organik mempunyai prospek yang cerah dan menawarkan beberapa keuntungan, baik bagi produsen, konsumen, maupun bagi perekonomian nasional.

Upaya pembangunan pertanian yang terencana dan terarah yang dimulai sejak Pelita pertama tahun 1969, telah berhasil mengeluarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar dunia menjadi negara yang mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Namun di balik keberhasilan tersebut, akhir-akhir ini muncul gejala yang mengisyaratkan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber daya pupuk. Keadaan ini sangat memberatkan petani, lebih-lebih dengan adanya kebijakan penghapusan subsidi pupuk dan penyesuaian harga jual gabah yang tidak berimbang.

Beberapa penelitian yang menyangkut efisiensi penggunaan pupuk, khususnya yang dilakukan oleh kelompok peneliti bioteknologi pada beberapa tahun terakhir, sangat mendukung upaya penghematan penggunaan pupuk kimia. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan peningkatan daya dukung tanah dan/atau peningkatan efisiensi produk pupuk dengan menggunakan mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah serta secara keseluruhan adalah pencemaran lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan.

Industri pupuk organik saat ini mulai tumbuh dan berkembang, beberapa perusahaan yang bergerak dibidang pupuk organik cukup banyak bermunculan. Sampah dan terutama limbah kotoran ternak, yang notabene juga akan menjadi sumber pencemar lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik dan benar diolah dengan menggunakan teknologi modern dengan penambahan nutrien tertentu sehingga menghasilkan pupuk organik yang berkualitas.

Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. Kemampuan pupuk organik untuk menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (padi, kedelai, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia).

Lebih lanjut, pamakaian pupuk organik dengan kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan terbukti sejalan dengan kemampuannya menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia. Beberapa hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia, penggunaan pupuk organik terbukti dapat menekan kebutuhan pupuk urea hingga 100 persen, TSP/SP36 hingga 50 persen, kapur pertanian hingga 50 persen. Biaya yang dihemat mencapai Rp. 50.000/ha, sedangkan produksi kedelai meningkat antara 2,45 hingga 57,48 persen. Keuntungan yang diperoleh petani kedelai naik rata-rata p. 292.000/ha, terdiri dari penghematan biaya pemupukan sebesar Rp. 50.000/ha, dan kenaikan produksi senilai Rp. 242.000/ha (Saraswati et al., 2008).

Pengujian lapang terhadap tanaman pangan (kentang, jagung, dan padi) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena selain dapat menghemat biaya pupuk, juga dapat meningkatkan produksi khususnya untuk dosis 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik (Goenadi et. al., 1998). Pada kombinasi 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik tersebut biaya pemupukan dapat dihemat sebesar 20,73 persen untuk tanaman kentang ; 23,01 persen untuk jagung ; dan 17,56 persen untuk padi. Produksi meningkat masing-masing 6,94 persen untuk kentang, 10,98 persen untuk jagung, dan 25,10 persen untuk padi. Penggunaan pupuk organik hingga 25 persen akan mengurangi biaya produksi sebesar 17 hingga 25 persen dari total biaya produksi.

Dengan adanya diversifikasi produk dari pupuk organik ini maka prospek pengembangan industri pupuk organik ke depan akan semakin menguntungkan sehingga lahan pekerjaan baru akan semakin luas.

gravatar

Selayang Pandang

Tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan segala makhluk hidup di dunia sangat memerlukan tanah. Akan tetapi arti yang penting ini kadang-kadang diabaikan oleh manusia, sehingga tanah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Tanah menjadi gersang dan dapat menimbulkan berbagai bencana, sehingga tidak lagi menjadi sumber dari segala kehidupan.

Kita dituntut agar dapat melestarikan “arti penting” tanah bagi segala kehidupan di dunia. Artinya kita sebagai manusia tidak sepantasnya hanya mengeruk keuntungan yang terdapat dalam tanah, melainkan mempunyai kewajiban untuk memelihara tanah tersebut, agar tanah tetap dapat berfungsi memberikan atau menyediakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya yang tumbuh dan berkembang di dunia.

Bagi usaha pertanian tanah mempunyai arti yang penting selain iklim dan air. Segala tumbuh-tumbuhan dan hasil-hasilnya yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia sepanjang masa akan sangat tergantung kepada keadaan tanah. Padahal di lain pihak juga diketahui bahwa usaha pertanian menginginkan hasil yang sebanyak-banyaknya, sehingga kemudian dicari cara untuk memanfaatkan potensi tanah pertanian seoptimal mungkin melalui berbagai usaha.

Salah satu hasil pemikiran mengenai peningkatan kemampuan tanah adalah revolusi hijau yang dikembangkan di Indonesia pada awal 1970-an atau tepatnya pada tahun 1968 dengan dikenal dengan program BIMAS yang telah mampu mengubah sikap petani dari anti teknologi menjadi sikap mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan dari hama dan bibit unggul. Pada dasarnya penggunaan teknologi tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah.

Dalam kenyataannya, memang revolusi hijau tersebut telah mampu mencapai tujuan makronya yaitu peningkatan produktivitas, khususnya pada sub sektor pangan. Akan tetapi pada tingkat mikro, revolusi hijau tersebut telah menimbulkan dampak negatif pada kondisi tanah itu sendiri yaitu adanya gangguan keseimbangan unsur hara dalam tanah, bagi kesehatan manusia kandungan residu pestisida dalam produk pangan yang menggunakan pupuk kimia membahayakan tubuh manusia.

Dari berbagai akibat penggunaan pupuk kimia tersebut masalah yang timbul antara lain:

1. Tanaman menjadi sangat rawan terhadap hama, meskipun produktivitasnya tinggi namun tidak memiliki ketahanan terhadap hama.

2. Pembodohan terhadap petani yang diindikasikan dengan hilangnya pengetahuan lokal dalam mengelola lahan pertanian dan ketergantungan petani terhadap paket teknologi pertanian produk industri.


LATAR BELAKANG

1. Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia/anorganik tersebut menjadikan sarana dan prasarana produksi pertanian menjadi rawan terhadap permainan harga oleh produsen maupun kondisi eksternal lain. Sebagai contoh pada saat krisis moneter di Indonesia yang mulai terjadi pada tahun 1997, maka dengan rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, mengakibatkan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida harganya naik antara 200 – 400% sehingga pemakaian pupuk menurun yang mengakibatkan produktivitas pertanian ikut menurun.

2. Memasuki era pasar bebas dengan diberlakukannya standar tertentu dalam setiap produk termasuk produk pertanian, pemberlakukan standard ISO dan Eco-Labelling yang mensyaratkan produksi yang ramah lingkungan, maka sektor pertanian memperoleh tantangan baru dan membutuhkan permikiran yang serius bagi ahli pertanian dan ahli yang terkait agar tetap mampu bersaing di dunia internasional. Penggunaan bahan organik yang recycleable dan ramah lingkungan dalam produksi pertanian agar diupayakan untuk tetap mempertahankan produktivitas lahan.

Berkaitan dengan hal tersebut, hampir 90% produk-produk pertanian di Indonesia diproduksi dengan menggunakan bahan anorganik seperti pupuk kimia dan pestisida, sehingga besar kemungkinan produk pertanian Indonesia tidak memenuhi standar internasional dan tidak diminati oleh pasar internasional. Kurangnya minat pasar internasional terhadap produk pertanian dalam negeri tersebut dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran mengenai kesehatan makanan, padahal dengan penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian dapat mengganggu kesehatan manusia.

Oleh karena itu untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dalam menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasar internasional perlu diupayakan pemenuhan terhadap minat konsumen yang membutuhkan konsumsi pangan bebas bahan anorganik. Untuk itu perlu segera digalakkan produk-produk pertanian organik di Indonesia dengan cara meningkatkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebagai sarana produksinya yang didukung dengan keanekaragaman hayati terutama bibit dan pestisida organik.

Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dapat dikatakan bahwa pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman, dan di lain pihak, produk pertanian yang dihasilkan terbebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga aman dikonsumsi.

Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat lebih unggul daripada pupuk anorganik. Namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik dibanding penggunaan pupuk anorganik. Selain itu penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia. Bahkan produk-produk yang dihasilkan akan diterima negara-negara yang mensyaratkan ambang batas residu yang sudah diberlakukan pada produk-produk tertentu.

Saat ini ada beberapa jenis pupuk organik sebagai pupuk alam berdasarkan bahan dasarnya, yaitu pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau, dan pupuk mikroba. Sedangkan ditinjau dari bentuknya ada pupuk organik cair dan ada pupuk organik padat. Sebagai contoh kompos merupakan contoh pupuk organik padat yang dibuat dari bahan organik padat (tumbuh-tumbuhan), sedangkan thilurine adalah pupuk organik cair yang dibuat dari bahan organik cair (urine sapi). Pupuk organik dapat dibuat dari limbah, contohnya limbah peternakan sapi perah dan sapi potong, baik berupa feses (kotoran) maupun urinenya dapat dijadikan bahan pembuatan pupuk organik.

Dengan melihat beberapa kecenderungan di atas, pengolahan limbah ternak berupa kotoran sapi untuk dijadikan salah satu bahan pembuatan pupuk organik sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi tanah serta kualitas hasil produksi pertanian, maka sekaligus akan mendongkrak animo pasar untuk melirik pupuk yang berbahan dasar organik. Hal tersebut juga ditengarai dengan semakin bermunculannya pabrik-pabrik pupuk yang berbasis organik guna memenuhi kebutuhan masyarakat petani akan ketersediaan pupuk yang selain dapat meningkatkan hasil produksi, juga ramah terhadap lingkungan, dalam arti sanggup mengembalikan kesuburan tanah dan sekaligus memeliharanya.

Selain dampak-dampak positif seperti di uraikan di atas, pengolahan limbah ternak juga memberikan output positif lain, di antaranya:

1. Bagi Masyarakat:

a. Memberikan sumber lapangan kerja baru

b. Alih Teknologi

c. Fungsi sosial, ekonomi dan budaya.


2. Bagi Pemerintah

a. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

b. Pengembangan Wilayah

c. Pendukung program pemerintah, antara lain:

· Menyediakan Lapangan Kerja

· Pengentasan Kemiskinan

· Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan

3. Bagi Pengelola:

a. Investasi

b. Turut serta dalam pembangunan bangsa