Archives

gravatar

Kisruh Pupuk

Kisruh pupuk akibat kelangkaan, kenaikan harga, dan merembesnya alokasi ke tempat lain menjadi persoalan tahunan. Inti masalah karena sistem distribusi yang rentan bocor dan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia semakin kuat.

Dampaknya, produktivitas tanaman tidak meningkat secara signifikan. Nilai tukar petani tetap jalan di tempat dan kualitas lahan setiap tahun terus memburuk. Hasilnya, bukan saja terjadi kemerosotan pendapatan petani, tetapi juga mengakibatkan tidak adanya kedaulatan pangan.

Konsekuensinya, produk primer pertanian yang dikonsumsi masyarakat sebagian besar diimpor. Biaya yang harus dibayar untuk itu tak kurang dari 5,003 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50,03 triliun per tahun.

Hal itu bukan saja menguras devisa, menekan pendapatan petani, tetapi juga menekan terciptanya lapangan kerja. Akibatnya, keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

Oleh sebab itu, kekisruhan pupuk tidak hanya merugikan petani tanaman pangan, tetapi juga industri pendukung sektor pertanian, lapangan kerja, dan kepentingan negara secara keseluruhan dalam hal pengadaan pangan secara nasional.

Hal itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang semakin tinggi.

Pupuk organik mampu menekan penggunaan pupuk kimia oleh petani yang tidak lagi mengikuti pola pemupukan tunggal yang berimbang, yakni urea sebanyak 250 kg, ZA 100 kg, superphos 100-150 kg, dan KCl sebanyak 75 kg.

Pupuk ini mampu meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kondisi tanah. Dengan pemberian yang cukup, tanah menjadi gembur, lebih berpori menyerap air lebih banyak, mudah diolah, dan mengefisienkan penggunaan pupuk an-organik.

Jika pupuk digunakan secara baik dan tepat, mampu ditekan 20 persen penggunaan pupuk kimia. Dengan demikian, pupuk an-organik bisa dikurangi. Ini artinya, nilai subsidi pupuk urea bisa ditekan. Saat ini subsidi pupuk urea untuk tahun 2009 sebanyak 5,5 juta ton dengan nilai Rp 8,381 triliun, ZA sebanyak 923.000 ton dengan nilai Rp 1,399 triliun, superphos sebanyak 1 juta ton dengan nilai Rp 989 miliar, dan NPK 1,5 juta ton dengan nilai Rp 6,033 triliun.

gravatar

Dampak Penggunaan Pupuk Kimia

Pupuk kimia adalah zat substitusi kandungan hara tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan.
Tetapi seharusnya unsur hara tersebut ada ditanah secara alami dengan adanya “siklus hara tanah” misalnya dari tanaman yang mati kemudian dimakan binatang pengerat/ herbivora, kotorannya atau sisa tumbuhan tersebut diuraikan oleh organisme seperti bakteri, cacing, jamur dan lainnya.

Nah siklus inilah yang harusnya tetap di jaga, jika mengunakan pupuk kimia terutama bila berlebihan dan terus-menerus, maka akan memutuskan siklus hara tanah, terutama akan mematikan organisme tanah, awalnya memang subur saat awal tetapi jadi tidak subur dimasa yang akan datang. Untuk itu, sebenarnya, tanah dan sistem tanam perlu dijaga dengan pola tetap "menggunakan pupuk organik".

Dampak dari penggunaan pupuk kimia di antaranya juga bisa disebutkan sebagai berikut:

Pertama, zat hara yang terkandung dalam tanah menjadi diikat oleh molekul2 kimiawi dari pupuk sehingga proses regenerasi humus tak dapat dilakukan lagi. Akibatnya ketahanan tanah/ daya dukung tanah dalam memproduksi menjadi kurang hingga nantinya tandus. Tak hanya itu penggunaan pupuk kimiawi secara terus-menerus menjadikan menguatnya resistensi hama akan suatu pestisida pertanian.

Masalah lain adalah penggunaan Urea biasanya sangat boros. Selama pemupukan Nitrogen dengan urea tidak pernah maksimal karena kandungan nitrogen pada urea hanya sekitar 40-60% saja. Jumlah yang hilang mencapai 50% disebabkan oleh penguapan, pencucian (leaching) serta terbawa air hujan (run off).

Efek lain dari penggunaan pupuk kimia juga mengurangi dan menekan populasi mikroorganisme tanah yang bermanfaat bagi tanah yang sangat bermanfaat bagi tanaman.

gravatar

Optimalisasi Industri Pupuk

Pada awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan kebijakan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Untuk sektor pertanian, kebijakan tersebut telah menunjukkan hasil yang signifikan.

Kinerja sektor pertanian pada tahun 2008 dinilai cukup mengesankan. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor ini mampu mencapai 5,3%. Angka pertumbuhan tersebut telah melampaui target pertumbuhan 3,6% yang dicantumkan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan (RKP) Departemen Pertanian 2008, serta melampaui rekor pertumbuhan tahun 2007 yang mencapai 4,6%. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengakui bahwa kinerja setinggi itu hampir tak pernah terjadi, sebab dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini pertumbuhan sektor pertanian di atas 3% baru terjadi tiga kali.

Namun, secara umum pemerintahan SBY dinilai memiliki cacat yang cukup mengganggu. Kalangan ekonom menuding pemerintah tidak bisa menarik manfaat dari kenaikan harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2008. Justru sebaliknya, kenaikan harga pangan internasional malah menimbulkan kesulitan pangan di dalam negeri yang ditandai dengan maraknya impor pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, gaplek, kacang tanah, daging, susu, bahkan garam sekalipun.

Kekurangan lainnya, kebijakan ekonomi pemerintahan SBY lebih terfokus pada sektor moneter keuangan dan cenderung mengabaikan sektor riil. Salah satu contoh kebijakan yang justru menyimpang dari upaya revitalisasi pertanian adalah kebijakan Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor pupuk lebih besar ke luar negeri.

Secara ekonomi, untuk mengejar keuntungan memang wajar, sebab harga jual pupuk ke luar negeri jauh lebih mahal daripada harga jual kepada petani sendiri. Misalnya harga pupuk urea bersubsidi di pasar dalam negeri hanya Rp 1.200,- per kg, padahal harga pupuk urea di pasar internasional pada tahun 2008 melambung hingga Rp 4.000 per kg. Namun, akibat dari kebijakan itu, pasokan pupuk kepada petani menjadi berkurang sehingga harga pupuk di dalam negeri membumbung tinggi, naik lebih dari 40 persen. Akibat lebih lanjut terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah. Kondisi ini menyebabkan beredarnya pupuk-pupuk palsu.

Tentu saja kebijakan memperbesar ekspor pupuk tersebut sempat menuai kecaman, sebab pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian (saprotan) yang harus dilindungi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian sekaligus menjaga ketahanan pangan. Di negara-negara maju pun seperti Amerika Serikat, Jepang atau Uni Eropa, eksistensi dan kinerja pabrik pupuk mendapat pengawasan sangat ketat dari pemerintah. Mereka sangat melindungi petani dan produk pertanian dari ancaman produk negara lain. Petani mereka disubsidi dan diberi berbagai fasilitas dalam berproduksi sehingga produk pangan dari luar sulit menembus pasar mereka.

Pengelolaan industri pupuk di Indonesia sebagian besar dipercayakan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selebihnya dikelola oleh BUMN yang bekerjasama dengan sektor swasta serta oleh perusahaan-perusahaan swasta murni. Perkembangan jenis pupuk yang dihasilkan saat ini masih tergantung pada jenis pupuk yang digunakan untuk pertanian, yaitu jenis pupuk tunggal seperti urea, SP 36 dan ZA, sedangkan industri yang menghasilkan jenis pupuk majemuk seperti NPK masih terbatas.

Kebijakan pengembangan industri pupuk ke depan sangat terkait dengan kebijakan pengembangan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Selain itu, pengembangan industri pupuk juga akan lebih diarahkan pada pertimbangan ketersediaan sumber bahan baku yang cukup di dalam negeri, khususnya gas bumi sebagai bahan baku pupuk urea dan ZA.

Untuk mendukung pengembangan industri pupuk, pemerintah dan DPR sepakat mengucurkan subsidi pertanian melalui APBN tahun 2009 sebesar Rp 32 triliun. Dari total subsidi tersebut, subsidi untuk pupuk sebesar Rp. 20,4 triliun, benih Rp. 1,5 triliun, dan sisanya Rp. 10,1 triliun merupakan subsidi pangan antara lain penyediaan beras untuk rakyat miskin.

Khusus untuk pupuk urea dan ZA yang telah mengalami surplus produk, kebijakan teknis pengembangannya tidak berorientasi pada pendirian pabrik-pabrik baru, melainkan lebih ke program optimalisasi pabrik-pabrik yang telah ada dengan mengganti pabrik-pabrik yang sudah tua (replacement). Dalam pelaksanaannya, proses relacement tersebut dilakukan di daerah yang memiliki sumber bahan baku gas bumi yang banyak dan atau ke daerah yang membutuhkan jumlah pupuk yang besar.

Dengan demikian, peluang yang sejalan dengan pengembangan industri pupuk di Indonesia lebih besar berorientasi pada bisnis penyediaan bahan baku terutama gas bumi, distribusi produk sejak keluar pabrik hingga sampai ke petani/pemakai, serta ekspor kelebihan konsumsi pupuk dalam negeri. Sementara peluang pendirian pabrik baru lebih mengarah pada pengembangan pupuk non-urea, yaitu pengembangan industri pupuk majemuk seperti TSP dan NPK. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang mulai mengarah pada produk pertanian “organik” serta dalam upaya memperbaiki kondisi tanah, pengembangan industri pupuk organik menjadi peluang yang lebih prospektif.

Diambil sepenuhnya dari: Media Data Riset, PT.
14 July, 2009, 10:40

http://mediadata.co.id