gravatar

Optimalisasi Industri Pupuk

Pada awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan kebijakan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Untuk sektor pertanian, kebijakan tersebut telah menunjukkan hasil yang signifikan.

Kinerja sektor pertanian pada tahun 2008 dinilai cukup mengesankan. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor ini mampu mencapai 5,3%. Angka pertumbuhan tersebut telah melampaui target pertumbuhan 3,6% yang dicantumkan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan (RKP) Departemen Pertanian 2008, serta melampaui rekor pertumbuhan tahun 2007 yang mencapai 4,6%. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengakui bahwa kinerja setinggi itu hampir tak pernah terjadi, sebab dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini pertumbuhan sektor pertanian di atas 3% baru terjadi tiga kali.

Namun, secara umum pemerintahan SBY dinilai memiliki cacat yang cukup mengganggu. Kalangan ekonom menuding pemerintah tidak bisa menarik manfaat dari kenaikan harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2008. Justru sebaliknya, kenaikan harga pangan internasional malah menimbulkan kesulitan pangan di dalam negeri yang ditandai dengan maraknya impor pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, gaplek, kacang tanah, daging, susu, bahkan garam sekalipun.

Kekurangan lainnya, kebijakan ekonomi pemerintahan SBY lebih terfokus pada sektor moneter keuangan dan cenderung mengabaikan sektor riil. Salah satu contoh kebijakan yang justru menyimpang dari upaya revitalisasi pertanian adalah kebijakan Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor pupuk lebih besar ke luar negeri.

Secara ekonomi, untuk mengejar keuntungan memang wajar, sebab harga jual pupuk ke luar negeri jauh lebih mahal daripada harga jual kepada petani sendiri. Misalnya harga pupuk urea bersubsidi di pasar dalam negeri hanya Rp 1.200,- per kg, padahal harga pupuk urea di pasar internasional pada tahun 2008 melambung hingga Rp 4.000 per kg. Namun, akibat dari kebijakan itu, pasokan pupuk kepada petani menjadi berkurang sehingga harga pupuk di dalam negeri membumbung tinggi, naik lebih dari 40 persen. Akibat lebih lanjut terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah. Kondisi ini menyebabkan beredarnya pupuk-pupuk palsu.

Tentu saja kebijakan memperbesar ekspor pupuk tersebut sempat menuai kecaman, sebab pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian (saprotan) yang harus dilindungi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian sekaligus menjaga ketahanan pangan. Di negara-negara maju pun seperti Amerika Serikat, Jepang atau Uni Eropa, eksistensi dan kinerja pabrik pupuk mendapat pengawasan sangat ketat dari pemerintah. Mereka sangat melindungi petani dan produk pertanian dari ancaman produk negara lain. Petani mereka disubsidi dan diberi berbagai fasilitas dalam berproduksi sehingga produk pangan dari luar sulit menembus pasar mereka.

Pengelolaan industri pupuk di Indonesia sebagian besar dipercayakan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selebihnya dikelola oleh BUMN yang bekerjasama dengan sektor swasta serta oleh perusahaan-perusahaan swasta murni. Perkembangan jenis pupuk yang dihasilkan saat ini masih tergantung pada jenis pupuk yang digunakan untuk pertanian, yaitu jenis pupuk tunggal seperti urea, SP 36 dan ZA, sedangkan industri yang menghasilkan jenis pupuk majemuk seperti NPK masih terbatas.

Kebijakan pengembangan industri pupuk ke depan sangat terkait dengan kebijakan pengembangan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Selain itu, pengembangan industri pupuk juga akan lebih diarahkan pada pertimbangan ketersediaan sumber bahan baku yang cukup di dalam negeri, khususnya gas bumi sebagai bahan baku pupuk urea dan ZA.

Untuk mendukung pengembangan industri pupuk, pemerintah dan DPR sepakat mengucurkan subsidi pertanian melalui APBN tahun 2009 sebesar Rp 32 triliun. Dari total subsidi tersebut, subsidi untuk pupuk sebesar Rp. 20,4 triliun, benih Rp. 1,5 triliun, dan sisanya Rp. 10,1 triliun merupakan subsidi pangan antara lain penyediaan beras untuk rakyat miskin.

Khusus untuk pupuk urea dan ZA yang telah mengalami surplus produk, kebijakan teknis pengembangannya tidak berorientasi pada pendirian pabrik-pabrik baru, melainkan lebih ke program optimalisasi pabrik-pabrik yang telah ada dengan mengganti pabrik-pabrik yang sudah tua (replacement). Dalam pelaksanaannya, proses relacement tersebut dilakukan di daerah yang memiliki sumber bahan baku gas bumi yang banyak dan atau ke daerah yang membutuhkan jumlah pupuk yang besar.

Dengan demikian, peluang yang sejalan dengan pengembangan industri pupuk di Indonesia lebih besar berorientasi pada bisnis penyediaan bahan baku terutama gas bumi, distribusi produk sejak keluar pabrik hingga sampai ke petani/pemakai, serta ekspor kelebihan konsumsi pupuk dalam negeri. Sementara peluang pendirian pabrik baru lebih mengarah pada pengembangan pupuk non-urea, yaitu pengembangan industri pupuk majemuk seperti TSP dan NPK. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang mulai mengarah pada produk pertanian “organik” serta dalam upaya memperbaiki kondisi tanah, pengembangan industri pupuk organik menjadi peluang yang lebih prospektif.

Diambil sepenuhnya dari: Media Data Riset, PT.
14 July, 2009, 10:40

http://mediadata.co.id